Mari ke rumahku, Kekasih—sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih—sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara sebentar saja!
Bila kematian itu manusia
Yang dapat kupeluk erat-erat!
Aku kan mengambil darinya jiwa, yang bersih
Dan tak
berwarna;
Dan ia akan mendapatkan dariku jubah berwarna,
Hanya itu!
Hatiku ini seperti butir biji, dan kita seperti kincir.
Katakanlah, apakah kincir itu tahu
Mengapa ia
berputar?
Tubuh ini ibarat batu, air adalah pikiran—
Batu berkata: “Oh, air mengerti!”
Air berkata: “Tidak, tolong tanyakan pada kincir—
Ia telah mengirimkan air ke lembah—tanyakanlah,
Apa sebabnya!”
Kincir berkata: “Hai
pemakan roti!—Haruskah ini
berhenti
Maka katakanlah, apa yang dilakukan
Oleh pembuat
roti?...”
Lihatlah aku telah banyak mencoba,
Dan mencari di
mana-mana
Tetapi tak pernah kutemukan seorang sahabat
seperti dirimu.
Aku telah mencoba setiap pancuran,
setiap butir
anggur,
Tetapi tak pernah
merasakan
kenikmatan minuman anggur
semanis dirimu…
Pergilah ke pangkuan Tuhan,
dan Tuhan akan
memelukmu dan menciummu,
dan menunjukkan
Bahwa Ia tidak akan membiarkanmu lari dari-Nya.
Ia akan menyimpan hatimu dalam hati-Nya,
siang dan malam.
Wahai, buatlah aku menjadi haus,
Jangan beri aku
air!
Jadikan aku kekasihmu!
Kuasailah dalam
tidurku!
Jangan menangis: ”Aduhai kenapa pergi!”
Dalam pemakamanku—
Bagiku, inilah bahagia!
Jangan katakan, “Selamat tinggal!”
ketika aku dimasukkan
ke liang lahat—
Itu adalah tirai rahmat yang abadi!
Bila gandum tumbuh dari debuku,
dan bila dimasak
jadi roti—kemabukan
akan bertambah.
Adonan: mabuk! Dan tukang roti!
Ovennya pun akan menyanyikan mazmur
yang ekstatis!
Bila datang ke makamku untuk mengunjungiku
Jangan datang ke makamku tanpa genderang,
Karena pada perjamuan Tuhan,
orang yang berduka
tidak diberi tempat…
Mari, mari kasih, mari kasih,
Masuk, masuklah ke dalam karyaku,
ke dalam
karyaku!
Kau, kaulah taman mawarku, taman mawarku;
Katakan, katakanlah rahasiaku, rahasiaku.
Kala kucari damai,
dialah penolong
sejati,
Kala kupergi berperang,
belati, itulah dia;
Kala kupergi ke pertemuan,
dialah anggur dan
manisan.
Kala aku ke taman,
keharuman, itulah
dia.
Kala aku ke pertambangan,
dialah batu delima
di sana.
Kala aku menyelam di lautan,
dialah mutiara.
Kala aku ke gurun,
dialah taman di
sana.
Kala aku ke langit,
dialah bintang
terang…
Kala kutulis surat
ke sahabat-sahabat
tercintaku,
Kertas dan tempat tinta,
tinta, pena,
itulah dia.
Kala kutulis syair
dan kucari kata
bersajak---
Yang membentangkan sajak-sajak
dalam pikiranku,
itulah dia!
Engkaulah langitku, dan aku buminya,
Yang
kebingungan—
Apa yang membuatmu terus mengalir dari hatiku?
Akulah tanah berbibir kering! Bawakan air
Yang akan menumbuhkan bunga mawar dari tanah ini!
Bagaimana bumi tahu
Apa yang dikau
taburkan dalam hatinya?
Karena kamulah, tanah ini mengandung,
dan kamu pun tahu
bebannya!
Di neraka, para penghuni neraka akan merasa lebih
bahagia dibanding di dunia, sebab di dunia mereka tidak
ingat kepada Allah, sedangkan di neraka mereka ingat
kepada-Nya—dan tidak ada yang lebih manis selain
mengenal Allah.
Lautan berombak, dan
Tampaklah Kearifan Abadi
Dan suaranya pun berkumandang…
Begitulah ia.
Lautan penuh buih
Dan dari tiap-tiap
buih ini
Muncul bentuk seperti ini,
dan bintik itu tak
lain sosok seperti itu,
Dan tiap-tiap bintik yang berbentuk jasadi
yang mendengar
isyarat dari lautan itu,
Lebur dan kemudian kembali
Ke lautan jiwa…
Jika Dia menjadikan aku cawan,
jadilah aku
cawan,
Jika Dia menjadikan aku pisau,
jadilah aku pisau.
Jika Dia menjadikan aku sumber air,
akan kualirkan
air,
Jika Dia menjadikan aku api,
aku akan
memberikan panas.
Jika Dia menjadikan aku hujan,
akan kutumbuhkan
musim panen,
Jika Dia menjadikan aku jarum,
kutembus tubuh.
Jika Dia menjadikan aku ular,
akan kukeluarkan
bisa,
Jika Dia menjadikan aku sahabat-Nya
hanya Dia yang akan
kuabdi.
Dengan tapak tangannya,
cintanya mengambil
hatiku yang merana,
lalu mencium
(bau)-nya:
Kalau hati ini tidak indah, mana mungkin dapat
menjadi buket
kembang bagi-Nya?
Akhlak bagusmu akan menemuimu
Setelah
kematianmu---
Bak wanita berwajah purnama,
Akhlak ini
berjalan anggun…
Kalau kamu sudah bercerai dengan tubuh,
Akan kamu lihat
barisan bidadari,
“Wanita muslim, wanita beriman,
Wanita saleh dan
bertobat”
(QS Al-Tahrim 66:5)
Sang haji mencium batu hitam ka’bah
Karena yang dipikirkannya bibir Kekasih.
Duhai yang telah pergi berziarah
(berhaji ke
Makkah---penerj.)---
di mana dirimu, di
mana, oh di mana?
Di sini, disinilah Kekasih berada!
Mari, mari, oh
mari!
Sahabatmu, dia itu di sebelahmu,
dia itu di sebelah
dindingmu---
Dikau yang tersesat di gurun---
udara cinta
macam apa ini?
Bila dikau lihat bentuk Kekasih
yang tidak
berbentuk---
Dikaulah rumah, guru,
Dikaulah Ka’bah,
dikau!...
Dimanakah sekuntum bunga mawar,
Jika kamu
kebun ini?
Di mana, esensi kemuliaan jiwa
Bila dikau
Samudera Allah?
Memang---namun kesulitanmu
dapat berubah
jadi kekayaan
Betapa sedihnya dikau sendiri menabiri
kekayaanmu
sendiri!
Kezuhudan sayapnya patah,
sedangkan
penyesalan telah menyesal
Mana mungkin pecinta berkaitan
dengan
penyesalan?
Setiap pagi karena cinta padamu akal ini menjadi gila,
Naik ke atap
otak, lalu memainkan kecapi…
Anjing yang penuh cinta
Lebih baik
dibanding singa yang ugahari!
Singa langit (lambang Leo) mencium cakarnya
dengan bibir yang
belum tersentuh bangkai.
Dari anggur cinta, Tuhan menciptaku!
Cinta jadi gemuk dan rupawan,
Akal berubah jadi kurus.
Orang yang jauh dari jaring cinta
Adalah burung yang tidak bersayap!
Ketika si pembawa-air
“Cinta”
Berteriak dengan
suara Guntur,
Segera saja gurun
Akan penuh
tetumbuhan!
Kalau saja bumi dan gunung itu bukan pencinta,
Tentu rumput tak akan tumbuh dari dada mereka….
Namun aku memimpikan kekasihku,
menatap, sembari
meratap dan sedih, isyaratnya
Dengan menangis, berarti aku melakukan wudhu,
dan shalatku pun
akan bergelora,
Lalu kubakar jalan masuk masjid
ketika suara
azanku berkumandang…
Apakah shalatnya si mabuk,
katakanlah, sahkah
shalat ini?
Sebab dia tak tahu waktunya
dan tak tahu
tempat.
Apakah aku shalat dua rakaat penuh?
Barangkali ini
yang kedelapan?
Surah mana yang kubaca?
Karena aku tak
punya lidah untuk membacanya.
Di pintu Tuhan---mana mungkin aku mengetuknya,
Karena kini aku
tak punya tangan atau hati?
Tuhan, Dikau telah membawa hati dan tangan!
Tuhan,
anugerahi daku keselamatan,
Ampuni daku….
Jika Dikau tak karuniakan jalan,
ketahuilah bahwa
jiwa pasti tersesat:
Jiwa yang hidup tanpa-Mu—
anggaplah itu
mati!
Jika Dikau perlakukan dengan buruk
hamba-hamba-Mu,
jika Dikau
mencerca mereka, Tuhan,
Dikaulah Raja—tak soal
apa pun yang
Dikau lakukan,
Dan jika Dikau menyebut matahari,
rembulan indah itu
“kotor”,
Dan jika Dikau katakan si “jahat”
adakah rampingnya
cemara nun di sana itu,
Dan jika Dikau katakan Takhta
semua alam itu
“rendah”,
Dan jika Dikau sebut lautan
dan tambang emas
“fakir lagi miskin”—
Itu sah saja,
sebab Dikaulah
yang Mahasempurna:
Dikaulah satu-satunya yang mampu
menyempurnakan
segala yang fana!
Musa melihat seorang penggembala di jalan,
Katanya: “Duhai yang memilih orang
yang Dikau
kehendaki:
Di mana Dikau, supaya aku jadi hamba-Mu,
Supaya aku memperbaiki jubah-Mu
dan menyisir
rambut-Mu,
Supaya aku cuci pakaian-Mu,
dan membunuh kutu-Mu,
Membawakan untuk-Mu susu, Duhai Yang Mahatinggi!
Mencium tangan indah-Mu, memijit kaki-Mu,
Supaya aku bersihkan kamar kecil-Mu
pada saat akan
tidur!
Kukurbankan semua kambingku untuk-Mu
Yang kurindukan dan memenuhi pikiranku,
Dengan penuh
cinta!”
Suatu malam aku bertanya kepada Cinta: “Katakan,
siapa sesungguhnya
dirimu”
Katanya: “Aku ini kehidupan abadi,
aku memperbanyak
kehidupan indah.”
Kataku: “Duhai yang di luar tempat,
di manakah
rumahmu?”
Katanya: “Aku ini bersama api hati,
dan di luar
mata yang basah,
Aku ini tukang cat; karena akulah setiap pipi
berubah jadi
berwarna kuning.
Akulah utusan yang ringan kaki,
sedangkan
pencinta adalah kuda kurusku.
Akulah merah padamnya bunga tulip,
harganya barang
itu,
Akulah manisnya ratapan, penyibak
Segala yang
tertabiri…..
Duhai mari, duhai mari! Dikaulah jiwa
dari jiwanya yang
berputar!
Duhai mari! Dikaulah cypress yang tinggi
di taman-berbunga
tarian berputar!
Duhai mari! Karena tidak pernah
dan tidak akan
pernah ada yang seperti Dikau!
Mari, yang sepertimu tak pernah melihat
mata-merindu dari
tarian berputar!
Duhai mari! Mata air matahari
tersembunyi di
bawah bayang-bayangmu!
Milikmu seribu
bintang venus
di
lelangit-melingkarnya tarian berputar!
Tarian berputar melantunkan pujianmu
dan bersyukur
dengan seratus lidah yang fasih:
Akan kucoba mengatakan satu, dua hal
yang
menerjemahkan bahasa tarian berputar.
Sebab bila engkau mulai menari
kau tinggalkan
kedua dunia ini
Sebab di luar kedua dunia ini ada
alam semesta
tarian berputar, yang tak berujung.
Atapnya tinggi,
yaitu di alam ketujuh,
Jauh di luar atap ini berdiri
Tangga, tangga
tarian berputar.
Apa pun yang ada di sana, itu hanya Dia,
kakimu melangkah
ke sana dalam tarian:
Ketahuilah, tarian berputar itu milikmu,
dan dikau pun
miliknya.
Bisa apa aku kalau Cinta datang
mencengkeram
leherku?
Kugapai ia, kudekatkan ke dadaku
Akan kuseret dalam
tarian berputar!
Ketika butir-butir debu
penuh cahaya
mentari,
Mereka pun mulai menari, menari
dan tak mengeluh
dalam tarian berputar itu!
Sumber: Schimmel, Annemarie, akulah angin engkaulah api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Penerbit:
Mizan, Edisi Baru 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar