Selasa, 02 September 2014

Beberapa karya Jalaluddin Rumi

Mari mengingat Jalaluddin Rumi


Mari ke rumahku, Kekasih—sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih—sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara sebentar saja!

Bila kematian itu manusia
Yang dapat kupeluk erat-erat!
Aku kan mengambil darinya jiwa, yang bersih
        Dan tak berwarna;
Dan ia akan mendapatkan dariku jubah berwarna,
       Hanya itu!

Hatiku ini seperti butir biji, dan kita seperti kincir.
Katakanlah, apakah kincir itu tahu
       Mengapa ia berputar?
Tubuh ini ibarat batu, air adalah pikiran—
Batu berkata: “Oh, air mengerti!”
Air berkata: “Tidak, tolong tanyakan pada kincir—
Ia telah mengirimkan air ke lembah—tanyakanlah,
Apa sebabnya!”
Kincir  berkata: “Hai pemakan roti!—Haruskah ini
berhenti
Maka katakanlah, apa yang dilakukan
        Oleh pembuat roti?...”

Lihatlah aku telah banyak mencoba,
       Dan mencari di mana-mana
Tetapi tak pernah kutemukan seorang sahabat
      seperti dirimu.
Aku telah mencoba setiap pancuran,
     setiap butir anggur,
Tetapi tak pernah
    merasakan kenikmatan minuman anggur
semanis dirimu…

Pergilah ke pangkuan Tuhan,
     dan Tuhan akan memelukmu dan menciummu,
dan menunjukkan
Bahwa Ia tidak akan membiarkanmu lari dari-Nya.
Ia akan menyimpan hatimu dalam hati-Nya,
     siang dan malam.

Wahai, buatlah aku menjadi haus,
    Jangan beri aku air!
Jadikan aku kekasihmu!
   Kuasailah dalam tidurku!

Jangan menangis: ”Aduhai kenapa pergi!”
    Dalam pemakamanku—
Bagiku, inilah bahagia!
Jangan katakan, “Selamat tinggal!”
      ketika aku dimasukkan ke liang lahat—
Itu adalah tirai rahmat yang abadi!

Bila gandum tumbuh dari debuku,
     dan bila dimasak jadi roti—kemabukan
     akan bertambah.
Adonan: mabuk! Dan tukang roti!
Ovennya pun akan menyanyikan mazmur
     yang ekstatis!
Bila datang ke makamku untuk mengunjungiku
Jangan datang ke makamku tanpa genderang,
Karena pada perjamuan Tuhan,
    orang yang berduka tidak diberi tempat…

Mari, mari kasih, mari kasih,
Masuk, masuklah ke dalam karyaku,
      ke dalam karyaku!
Kau, kaulah taman mawarku, taman mawarku;
Katakan, katakanlah rahasiaku, rahasiaku.

Kala kucari damai,
    dialah penolong sejati,
Kala kupergi berperang,
   belati, itulah dia;
Kala kupergi ke pertemuan,
     dialah anggur dan manisan.
Kala aku ke taman,
     keharuman, itulah dia.
Kala aku ke pertambangan,
    dialah batu delima di sana.
Kala aku menyelam di lautan,
    dialah mutiara.
Kala aku ke gurun,
    dialah taman di sana.
Kala aku ke langit,
   dialah bintang terang…
Kala kutulis surat
    ke sahabat-sahabat tercintaku,
Kertas dan tempat tinta,
    tinta, pena, itulah dia.
Kala kutulis syair
    dan kucari kata bersajak---
Yang membentangkan sajak-sajak
   dalam pikiranku, itulah dia!

Engkaulah langitku, dan aku buminya,
      Yang kebingungan—
Apa yang membuatmu terus mengalir dari hatiku?
Akulah tanah berbibir kering! Bawakan air
Yang akan menumbuhkan bunga mawar dari tanah ini!
Bagaimana bumi tahu
     Apa yang dikau taburkan dalam hatinya?
Karena kamulah, tanah ini mengandung,
    dan kamu pun tahu bebannya!

Di neraka, para penghuni neraka akan merasa lebih
bahagia dibanding di dunia, sebab di dunia mereka tidak
ingat kepada Allah, sedangkan di neraka mereka ingat
kepada-Nya—dan tidak ada yang lebih manis selain
mengenal Allah.

Lautan berombak, dan
     Tampaklah Kearifan Abadi
Dan suaranya pun berkumandang…
     Begitulah ia.
Lautan penuh buih
    Dan dari tiap-tiap buih ini
Muncul bentuk seperti ini,
    dan bintik itu tak lain sosok seperti itu,
Dan tiap-tiap bintik yang berbentuk jasadi
    yang mendengar isyarat dari lautan itu,
Lebur dan kemudian kembali
    Ke lautan jiwa…

Jika Dia menjadikan aku cawan,
     jadilah aku cawan,
Jika Dia menjadikan aku pisau,
    jadilah aku pisau.
Jika Dia menjadikan aku sumber air,
    akan kualirkan air,
Jika Dia menjadikan aku api,
    aku akan memberikan panas.
Jika Dia menjadikan aku hujan,
   akan kutumbuhkan musim panen,
Jika Dia menjadikan aku jarum,
   kutembus tubuh.
Jika Dia menjadikan aku ular,
   akan kukeluarkan bisa,
Jika Dia menjadikan aku sahabat-Nya
   hanya Dia yang akan kuabdi.

Dengan tapak tangannya,
    cintanya mengambil hatiku yang merana,
    lalu mencium (bau)-nya:
Kalau hati ini tidak indah, mana mungkin dapat
   menjadi buket kembang bagi-Nya?

Akhlak bagusmu akan menemuimu
     Setelah kematianmu---
Bak wanita berwajah purnama,
      Akhlak ini berjalan anggun…
Kalau kamu sudah bercerai dengan tubuh,
    Akan kamu lihat barisan bidadari,
“Wanita muslim, wanita beriman,
    Wanita saleh dan bertobat”
(QS Al-Tahrim 66:5)

Sang haji mencium batu hitam ka’bah
Karena yang dipikirkannya bibir Kekasih.

Duhai yang telah pergi berziarah
    (berhaji ke Makkah---penerj.)---
    di mana dirimu, di mana, oh di mana?
Di sini, disinilah Kekasih berada!
    Mari, mari, oh mari!
Sahabatmu, dia itu di sebelahmu,
    dia itu di sebelah dindingmu---
Dikau yang tersesat di gurun---
      udara cinta macam apa ini?
Bila dikau lihat bentuk Kekasih
     yang tidak berbentuk---
Dikaulah rumah, guru,
     Dikaulah Ka’bah, dikau!...
Dimanakah sekuntum bunga mawar,
          Jika kamu kebun ini?
Di mana, esensi kemuliaan jiwa
         Bila dikau Samudera Allah?
Memang---namun kesulitanmu
        dapat berubah jadi kekayaan
Betapa sedihnya dikau sendiri menabiri
       kekayaanmu sendiri!
   
Kezuhudan sayapnya patah,
      sedangkan penyesalan telah menyesal
Mana mungkin pecinta berkaitan
      dengan penyesalan?

Setiap pagi karena cinta padamu akal ini menjadi gila,
     Naik ke atap otak, lalu memainkan kecapi…

Anjing yang penuh cinta
     Lebih baik dibanding singa yang ugahari!
Singa langit (lambang Leo) mencium cakarnya
    dengan bibir yang belum tersentuh bangkai.

Dari anggur cinta, Tuhan menciptaku!

Cinta jadi gemuk dan rupawan,
Akal berubah jadi kurus.
Orang yang jauh dari jaring cinta
Adalah burung yang tidak bersayap!

Ketika si pembawa-air  “Cinta”
     Berteriak dengan suara Guntur,
Segera saja gurun
    Akan penuh tetumbuhan!

Kalau saja bumi dan gunung itu bukan pencinta,
Tentu rumput tak akan tumbuh dari dada mereka….

Namun aku memimpikan kekasihku,
      menatap, sembari meratap dan sedih, isyaratnya
Dengan menangis, berarti aku melakukan wudhu,
     dan shalatku pun akan bergelora,
Lalu kubakar jalan masuk masjid
    ketika suara azanku berkumandang…
Apakah shalatnya si mabuk,
   katakanlah, sahkah shalat ini?
Sebab dia tak tahu waktunya
    dan tak tahu tempat.
Apakah aku shalat dua rakaat penuh?
     Barangkali ini yang kedelapan?
Surah mana yang kubaca?
     Karena aku tak punya lidah untuk membacanya.
Di pintu Tuhan---mana mungkin aku mengetuknya,
      Karena kini aku tak punya tangan atau hati?
Tuhan, Dikau telah membawa hati dan tangan!
       Tuhan, anugerahi daku keselamatan,
       Ampuni daku….

Jika Dikau tak karuniakan jalan,
      ketahuilah bahwa jiwa pasti tersesat:
Jiwa yang hidup tanpa-Mu—
      anggaplah itu mati!
Jika Dikau perlakukan dengan buruk
hamba-hamba-Mu,
      jika Dikau mencerca mereka, Tuhan,
Dikaulah Raja—tak soal
      apa pun yang Dikau lakukan,
Dan jika Dikau menyebut matahari,
    rembulan indah itu “kotor”,
Dan jika Dikau katakan si “jahat”
    adakah rampingnya cemara nun di sana itu,
Dan jika Dikau katakan Takhta
    semua alam itu “rendah”,
Dan jika Dikau sebut lautan
    dan tambang emas “fakir lagi miskin”—
Itu sah saja,
    sebab Dikaulah yang Mahasempurna:
Dikaulah satu-satunya yang mampu
      menyempurnakan segala yang fana!

Musa melihat seorang penggembala di jalan,
Katanya: “Duhai yang memilih orang
      yang Dikau kehendaki:
Di mana Dikau, supaya aku jadi hamba-Mu,
Supaya aku memperbaiki jubah-Mu
     dan menyisir rambut-Mu,
Supaya aku cuci pakaian-Mu,  dan membunuh kutu-Mu,
Membawakan untuk-Mu susu, Duhai Yang Mahatinggi!
Mencium tangan indah-Mu, memijit kaki-Mu,
Supaya aku bersihkan kamar kecil-Mu
      pada saat akan tidur!
Kukurbankan semua kambingku untuk-Mu
Yang kurindukan dan memenuhi pikiranku,
     Dengan penuh cinta!”

Suatu malam aku bertanya kepada Cinta: “Katakan,
    siapa sesungguhnya dirimu”
Katanya: “Aku ini kehidupan abadi,
   aku memperbanyak kehidupan indah.”
Kataku: “Duhai yang di luar tempat,
   di manakah rumahmu?”
Katanya: “Aku ini bersama api hati,
       dan di luar mata yang basah,
Aku ini tukang cat; karena akulah setiap pipi
      berubah jadi berwarna kuning.
Akulah utusan yang ringan kaki,
     sedangkan pencinta adalah kuda kurusku.
Akulah merah padamnya bunga tulip,
    harganya barang itu,
Akulah manisnya ratapan, penyibak
    Segala yang tertabiri…..

Duhai mari, duhai mari! Dikaulah jiwa
    dari jiwanya yang berputar!
Duhai mari! Dikaulah cypress yang tinggi
   di taman-berbunga tarian  berputar!
Duhai mari! Karena tidak pernah
   dan tidak akan pernah ada yang seperti Dikau!
Mari, yang sepertimu tak pernah melihat
   mata-merindu dari tarian berputar!
Duhai mari! Mata air matahari
    tersembunyi di bawah bayang-bayangmu!
 Milikmu seribu bintang venus
    di lelangit-melingkarnya tarian berputar!
Tarian berputar melantunkan pujianmu
   dan bersyukur dengan seratus lidah yang fasih:
Akan kucoba mengatakan satu, dua hal
        yang menerjemahkan bahasa tarian berputar.
Sebab bila engkau mulai menari
       kau tinggalkan kedua dunia ini
Sebab di luar kedua dunia ini ada
      alam semesta tarian berputar, yang tak berujung.
Atapnya tinggi,
     yaitu di alam ketujuh,
Jauh di luar atap ini berdiri
     Tangga, tangga tarian berputar.
Apa pun yang ada di sana, itu hanya Dia,
    kakimu melangkah ke sana dalam tarian:
Ketahuilah, tarian berputar itu milikmu,
    dan dikau pun miliknya.
Bisa apa aku kalau Cinta datang
   mencengkeram leherku?
Kugapai ia, kudekatkan ke dadaku
    Akan kuseret dalam tarian berputar!
Ketika butir-butir debu
    penuh cahaya mentari,
Mereka pun mulai menari, menari
   dan tak mengeluh dalam tarian berputar itu!

Sumber: Schimmel, Annemarie, akulah angin engkaulah api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Penerbit: Mizan, Edisi Baru 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar